Polder Liang Martapura
1. Pengenalan Rawa
Rawa
adalah lahan dengan
kemiringan relatif datar disertai adanya genangan air yang terbentuk secara
alamiah yang terjadi terus-menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang
terhambat serta mempunyai ciri fisik: bentuk permukaan lahan yang cekung,
kadang-kadang bergambut; ciri kimiawi: derajat keasaman airnya terendah dan
ciri biologis: terdapat ikan-ikan rawa, tumbuhan rawa dan hutan rawa. Lahan
rawa sendiri mempunyai pengertian lahan darat yang tergenang secara periodik
atau terus menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase yang
terhambat. Meskipun dalam keadaan tergenang, lahan ini tetap ditumbuhi oleh
tumbuhan. Lahan ini dapat dibedakan dari danau, karena danau tergenang
sepanjang tahun, genangannya lebih dalam, dan tidak ditumbuhi oleh tanaman kecuali
tumbuhan air.
Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat kaya. Jenis-jenis floranya antara lain: durian burung (Durio
carinatus), ramin (Gonystylus sp), terentang (Camnosperma sp.), kayu putih
(Melaleuca sp), sagu (Metroxylon sp), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai
jenis liana. Faunanya antara lain : harimau (Panthera
tigris), Orang utan (Pongo
pygmaeus), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), babi hutan (Sus scrofa), badak, gajah,
musang air dan berbagai jenis ikan.
Adapun
beberapa jenis rawa dari lahan rawa :
|
1. Hutan
rawa air tawar, memiliki permukaan tanah yang kaya akan mineral. Biasanya
ditumbuhi hutan lebat;
|
2. Hutan
rawa gambut, terbentuk dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang proses
penguraiannya sangat lambat sehingga tanah gambut memiliki kandungan bahan
organik yang sangat tinggi;
|
3. Rawa
tanpa hutan, merupakan bagian dari ekosistem rawa hutan. Namun hanya
ditumbuhi tumbuhan kecil seperti semak dan rumput liar.
|
Peran dan manfaat hutan
rawa :
v Sumber cadangan air, dapat
menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan
mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering;
v sumber makanan nabati maupun hewani
v mencegah terjadinya banjir;
v mencegah intrusi air laut ke dalam air
tanah dan sungai
v sumber energi
v sumber makanan nabati maupun hewani
Jika hutan rawa hilang :
v dapat mengakibatkan kekeringan
v dapat mengakibatkan intrusi air laut lebih
jauh ke daratan
v dapat mengakibatkan banjir
v hilangnya flora dan fauna di
dalamnya
v sumber mata pencaharian penduduk setempat
berkurang
Rawa Pasang Surut ialah lahan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan umumnya elevasinya
sangat rendah, sehingga sering tergenangi oleh air pasang dan menjadi daerah
rawa, akibat drainasenya yang kurang
lancar. Rawa
‘Non Pasang Surut’ Lahan yang mempunyai topograpi relatif datar atau sedikit
cekungan dan selalu tergenang oleh air hujan atau luapan sungai karena drainase
yang kurang.
Berdasarkan pola genangannya, lahan rawa
pasang surut dibagi menjadi empat tipe:
1. Tipe A, tergenang pada waktu pasang besar
dan pasang kecil
2. Tipe B, tergenang hanya pada pasang besar
3. Tipe C, tidak tergenang tetapi kedalaman
air tanah pada air pasang kurang dari 50 cm,
4. Tipe D, tidak tergenang pada waktu pasang
air tanah lebih dari 50 cm tetapi pasang surut airnya masih terasa atau tampak
pada saluran tersier.
Sedangkan pada rawa lebak dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1. Lebak dangkal atau lebak pematang, yaitu
rawa lebak dengan genangan air kurang dari 50cm. Lahan ini biasanya terletak
disepanjang tanggul sungai dengan lama genangan kurang dari 3 bulan.
2. Lebak tengahan yaitu lebak dengan
kedalaman 50-100 cm. Genangan biasanya terjadi selama 3-6 bulan.
Rawa lebak peralihan mempunyai
pengertian yaitu lahan yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran
primer atau di sungai. Pada lahan ini endapan laut yang dicirikan oleh adanya
lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80-120 cm di bawah permukaan
tanah.
3. Lebak dalam, yaitu lebak dengan kedalaman
lebih dari 100 cm. Lahan ini biasanya terletak di sebelah dalam menjauhi sungai
dengan lama genangan lebih dari 6 bulan.
Sementara petani umumnya di Hulu Sungai,
Kalimantan Selatan membagi rawa lebak dengan sebutan watun (lahan rawa lebak =
Bahasa Banjar), yaitu watun I, II, III, dan IV. Batasan dan klasifikasi
watun didasarkan menurut hidrotopografi dan waktu tanam padi adalah sebagai
berikut:
Watun I : wilayah sepanjang 200-300 depa menjorok masuk dari tanggul (1 depa = 1,7 meter). Hidrotopografinya nisbi paling tinggi.
Watun II : wilayah sepanjang 200-300 depa (= 510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun I. Hidrotopografinya lebih rendah daripada watun I.
Watun III : wilayah sepanjang 200-300 depa (= 510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun II. Hidrotopografinya lebih rendah daripada watun II.
Watun IV : wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir watun III. Hidrotopografinya nisbi paling rendah.
Watun I : wilayah sepanjang 200-300 depa menjorok masuk dari tanggul (1 depa = 1,7 meter). Hidrotopografinya nisbi paling tinggi.
Watun II : wilayah sepanjang 200-300 depa (= 510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun I. Hidrotopografinya lebih rendah daripada watun I.
Watun III : wilayah sepanjang 200-300 depa (= 510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun II. Hidrotopografinya lebih rendah daripada watun II.
Watun IV : wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir watun III. Hidrotopografinya nisbi paling rendah.
Watun I, II, III,
dan IV masing-masing identik dengan istilah lebak dangkal, lebak tengahan,
lebak dalam, dan lebak sangat dalam atau lebung.
Berdasarkan ada atau tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah terkurung.Batasan dan klasifikasi lebak menurut ada atau tidaknya pengaruh sungai adalah sebagai berikut (Kosman dan Jumberi, 1996):
Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi rendahnya genangan sangat ditentukan oleh muka air sungai.
Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh bear kecilnya curah hujan dan rembesan air (seepage) dari sekitarnya.
Lebak setengah : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan
terkurung oleh besar kecilnya hujan, rembesan, dan juga sungai di sekitarnya.
Berdasarkan ada atau tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah terkurung.Batasan dan klasifikasi lebak menurut ada atau tidaknya pengaruh sungai adalah sebagai berikut (Kosman dan Jumberi, 1996):
Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi rendahnya genangan sangat ditentukan oleh muka air sungai.
Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh bear kecilnya curah hujan dan rembesan air (seepage) dari sekitarnya.
Lebak setengah : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan
terkurung oleh besar kecilnya hujan, rembesan, dan juga sungai di sekitarnya.
Lahan rawa memiliki peranan yang sangat
penting baik ditinjau dari segi ekonomi maupun ekologi. Lahan rawa kaya
akan hasil hutan yang berupa kayu dan beraneka ragam tanaman lainnya, berfungsi
sebagai penyimpanan air untuk mengendalikan banjir, serta kawasan tersebut juga
sangat berperan penting sebagai pengendali iklim karena kemampuannya untuk
menyerap karbon. Indonesia
mempunyai lahan rawa yang terdiri dari lahan rawa pasang surut dan rawa lebak
kurang lebih seluas 39 juta ha, yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. Dari luasan tersebut sebagian
besar merupakan lahan pasang surut.
Berdasarkan
data dari Badan Litbang, Balitrawa tahun 2005, saat ini di Indonesia terdapat areal lahan rawa
pasang surut seluas 34,2 juta ha. Dari
luasan tersebut, lahan yang telah diusahakan untuk lahan pertanian seluas 1,53
juta ha. Namun demikian berdasarkan kenyataan yang ada lahan-lahan belum dapat
diusahakan secara insentif dan terus-menerus, sehingga belum dapat memberikan
produktivitas yang lebih tinggi. Pemerintah melalui kerjasama dengan instansi
terkait baik di tingkat Pusat dan Daerah, antara lain Departemen Pertanian,
Departemen Pekerjaan Umum, serta 2
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi berupaya mengembangkan reklamasi rawa baik
pasang surut maupun lebak.
Departemen Pertanian melalui Direktorat
Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air pada Tahun 2008 mengalokasikan kegiatan
rekalamsi rawa baik rawa pasang surut dan rawa lebak. Reklamasi lahan rawa
diprioritaskan pada lahan yang mempunyai kendala paling rendah yaitu lahan
tersebut telah diusahakan petani untuk berbagai komoditas, tetapi apabila
diberikan input masukan teknologi dan
infrastruktur pertanian dari Pemerintah akan dapat meningkatkan kualitas lahan
dan produktivitas lahan.
2. Pengendalian Muka Air
A. Untuk Rawa Non Pasang Surut
Pengendalian muka air jaringan reklamasi rawa non
pasang surut dilakukan pada pintu pengendali utama di saluran drainase utama
yang terletak di bagian hilir. Tujuan pengendalian muka air adalah untuk :
v
Pengendalian banjir
v
Penyediaan air (Water Storage)
v
Pengendalian salinitas
Dengan penyediaan
air (water storage) dan pengendalian salinitas tersebut, dimaksudkan untuk
dapat melaksanakan instruksi-instruksi Zona Pengelolaan Air pada petak tersier.
Rencana muka air
untuk rawa non pasang surut dibuat untuk pengoperasian pintu air pengendali
utama tiap bulan selama satu tahun.
B. Untuk
Rawa Pasang Surut
Pengendalian muka
air jaringan reklamasi pada pintu air pengendali tersier. Tujuan pengendalian
muka air pada rawa pasang surut adalah untuk :
v
Pengendalian banjir
v
Pengelolaan air dan tanah sesuai instruksi dalam
Zona Pengelolaan Air.
Rencana muka air
untuk rawa pasang surut telah ditetapkan dalam Zona Pengelolaan Air yang
tergantung pada kondisi :
v Muka air pasang surut pada saluran tertier
v Curah hujan
v Unit lahan (kualitas lahan)
3. Polder
Polder adalah
sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh embankment /
timbunan atau tanggul yang
membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan, yang berarti tidak ada kontak
dengan air dari daerah luar selain yang dialirkan melalui perangkat manual.
Contoh polder:
1. Tanah yang direklamasi dari
badan air misalnya danau yang dikeringkan dan dijadikan kawasan tertentu.
2. Dataran banjir yang
dipisahkan dari laut atau sungai menggunakan tanggul,
3. Rawa yang dikelilingi air
yang kemudian dikeringkan.
Tanah dasar berupa rawa yang
dikeringkan akan surut seiring berjalannya waktu, namun seluruh polder akan
dengan cepat berada dibawah muka air di sekitarnya bila terjadi kenaikan muka
air, misalnya ketika pasang atau banjir. Air di sekitar polder akan mulai
meresap perlahan ke bawah tanggul dan keluar ke permukaan di dalam lingkungan
polder melalui aliran air tanah untuk menyeimbangkan air tekanan air, sehingga
lama2 polder akan tergenang. Ini berarti polder mengalami kelebihan air yang
harus dipompa keluar atau dikeringkan dengan membuka pintu air pada saat muka
air laut surut. Namun, pengaturan muka air dalam tanah tidak boleh terlalu
rendah. Tanah polder yang terdiri dari peat/ tanah turf (bekas rawa) akan
memperlihatkan percepatan pemampatan akibat dekoposisi tanah turf pada saat
kondisi kering.
Polder senantiasa berada pada bahaya
banjir, dan tanggul yang mengelilinginya harus dijaga. Tanggul-tanggul tersebut
biasanya dibangun dengan material yang tersedia di daerah tersebut. Tanggul
dari pasir rawan runtuh akibat oversaturation (tanah terlampau jenuh air), sementara
tanah peat kering malah lebih ringan daripada air
sehingga berpotensi tidak stabil pada musim kering. Beberapa jenis binatang
dapat menggali dan membuat terowongan dan sarang pada struktur tanggul. Polder
seringkali diketemukan di delta sungai dan daerah tepi pantai, walaupun tidak
selalu ada.
4.
Polder Liang
Polder liang adalah salah satu polder yang
ada di Kalimantan Selatan, letaknya ada di daerah Martapura, serta tidak jauh
dari pusat kota. Luas Polder Liang sekitar 1425 Ha dan polder ini dikelilingi tanggul
yang mengitari kawasan daerah rawa. Polder liang berada di antara tiga
kecamatan, yakni kecamatan Martapura, kecamatan Karang Intan dan Kecamatan
Astambul. Di sekitar polder juga banyak terdapat sungai, diantaranya sungai
Arpat, Liang, Antasan, Bincau, Antasan Ambawang Besar, serta sungai Baku.
Polder liang terdiri dari beberapa pintu
air, yakni ada 6 pintu air utama dan 29 pintu air kecil. Sistem pengeluaran
pintu menggunakan sistem buka tutup secara manual. Pintu air sendiri memiliki
fungsi sebagai pengontrol ketinggian muka air di dalam polder dengan
mengeluarkan air dari dalam menuju sungai yang ada di sekitar polder. Dimana
salah satu dari 6 pintu air utama tidak difungsikan lagi, namun syfon yang ada
pada pintu air itu masih digunakan. Pintu air yang tidak difungsikan lagi
berada di daerah Mali-Mali. 2 pintu dari 6 pintu air utama dibuat telah pada
zaman Belanda.
5. Kehidupan Masyarakat di Sekitar Polder Liang
Masyarakat yang ada di sekitar polder yang
lebih dekat dengan kota Martapura memiliki matapencaharian sebagai
petani. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanaman padi di sekitar polder. Namun
petani di daerah polder Liang banyak mendapatkan kendala, yang diantaranya
mereka harus menggunakan tanaman padi dengan jenis khusus yaitu padi yang berbatang
tinggi. Dimaksudkan agar tanaman padi tidak tenggelam karena tingginya muka air
pada polder. Seandainya muka air lebih tinggi maka akan mengakibatkan gagal
panen, tanaman padi akan layu dan membusuk karena kelebihan kadar air.
Dampak dari gagal panen akibat tingginya
muka air permukaan membuat masyarakat di sekitar polder liang berganti profesi.
Sembari menunggu muka air permukaan turun dan terkendali, masyarakat
mengekspresikan kerajinan tangan yang mereka miliki dengan membuat
anyaman-anyaman bambu sebagai perangkap ikan. Selain itu mereka juga membuat
jaring-jaring nilon yang biasa digunakan sebagai perangkap ikan.
Pekerjaan alternatif lain yang dimiliki
masyarakat di sekitar Polder Liang adalah berkebun, di sepanjang tanggul hampir
semua halaman rumah terlihat tanaman-tanaman yang bisa dikonsumsi. Diantaranya ada pohon pisang, pohon
singkong, tebu, serta pohon kelapa. Tidak hanya sebagai pekerjaan alternatif
tapi juga ada masyarakat yang serius melakoni pekerjaannya sebagai berkebun,
terlihat dari pohon karet yang tersusun secara apik dan rapi. Hasil karet yang berlimpah memajukan
perekonomian masyarakatnya secara tidak langsung.
Di samping bertani dan membuat kerajinan
tangan, masyarakat yang berada di kawasan polder daerah Astambul lebih memanfaatkan
sungai sebagai mata pencahariaan utamanya, yakni dengan membuat keramba-keramba
ikan disepanjang aliran sungai. Dari itu mereka memiliki keuntungan yang
berlimpah, karena sungai jarang sekali mengalami pendangkalan. Adapun dampak
dari adanya keramba-keramba ikan di sekitar polder liang yaitu menghambat arus
sungai sehingga sungai mengalami penigkatan tinggi permukaan. Dengan
meningkatnya air permukaan sungai membuat proses pengeluaran air dari dalam
polder sungai terhambat, karena muka air di daerah luar lebih tinggi dari pada
muka air di daerah dalam sehingga tidak menutup kemungkinan air dari sungai
masuk ke dalam polder. Sehingga bukannya muka air dalam polder bertambah turun
malah membuat muka airnya bertambah tinggi. Hal inilah yang membuat gagal
fungsinya Polder Liang dalam bertujuan mengontrol muka air permukaan.
Mata pencaharian lain yang ada di sekitar
polder Liang adalah dagang. Ini terlihat dari hampir disepanjang jalan yang
mengitari polder Liang terdapat warung atau kios-kios kecil. Pasar Martapura
sebagai sentra perdagangan sangat jauh dari pelosok masyarakat yang tinggal di
sekitar Polder Liang, sehingga alternatif lain mereka mencari keuntungan yaitu
dengan membuat usaha kecil sendiri yaitu perdagangan.
Berternak hewan merupakan salah satu dari
sekian banyak pekerjaan yang dilakoni oleh masyarakat di sekitar polder liang.
Berbagai macam jenis hewan yang mereka ternak diantaranya berternak Angsa,
Bebek, Ayam serta ada yang lebih menggiurkan lagi keuntungannya yaitu Kerbau.
Untuk daerah polder Liang yang ada di Kecamatan Martapura, masyarakatnya lebih
banyak berternak Bebek dan Kerbau. Sedangkan di Kecamatan Astambul mereka lebih
banyak yang berternak Angsa serta Ayam.
6. Kendala yang Dialami oleh Polder Liang
Adapun beberpa kendala yang terus saja
dialami oleh polder liang, diantaranya adalah tinggi muka air permukaan yang
selalu meningkat, berserakannya sampah-sampah yang ada di saluran penghubung
antara dalam polder dengan saluran sungai, pintu air yang kurang terawat atau
kurang perhatian khusus, serta yang lebih parah lagi adalah masuknya air sungai
ke dalam sistem polder akibat lebih tingginya muka air sungai daripada muka air
dalam polder.
Penyebab dari tinggi air permukaan karena
saluran sungai di daerah kecamatan Astambul serta daerah Bincau yang tinggi,
sehingga sangat sulit untuk mengeluarkan air dari dalam polder. Dampak ini
menular bagi masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka
kesulitan bagaimana harus mengolah padi mereka dengan keadaan muka air yang
tinggi. Ini semua bermula dari banyaknya keramba-keramba ikan di sepanjang
sungai yang membuat muka air di sungai semakin meluap.
Sampah, merupakan kendala yang tidak bisa
diremehkan. Selain menimbulkan bau serta penyakit berbahaya, sampah juga berdampak
buruk bagi sistem polder. Sampah yang ada disekitar pintu air telah menyumbat
arus air yang hendak keluar dari polder menuju sungai. Akibatnya, air pada
polder liang mengalami penurunan yang sangat lambat saat proses pembuangan.
Bahkan masalah yang lebih besar yang bisa ditimbulkan oleh sampah-sampah
berserakan adalah banjir. Banjir bahkan pernah terjadi di kawasan polder liang
pada pertengahan tahun 2010, hal ini membuat perekonomian masyarakat serta
akses lalu lintas menjadi semakin memburuk.
Masalah-masalah yang terkadang tidak
disadari oleh masyarakat ini padahal berdampak buruk bagi mereka sendiri.
Masalah lainnya adalah pintu air yang kurang mendapatkan perawatan serta
perhatian serius oleh pemerintah serta masyarakat sendiri. Ini terlihat di
salah satu pintu air, yang tidak mampu mengontrol tinggi muka air. Sehingga air
yang mengalir merembes ke dataran yang lebih tinggi bahkan menggenang di sisi
jalan beraspal. Hanya syfonnya saja yang masih berfungsi mengalirkan air
melalui dalam tanah yang melintas di bawah permukaan tanah serta jalan. Pintu
air yang tidak difungsikan lagi ini berada di daerah Mali-Mali.
Selain kesadaran masyarakat atas
pentingnya menjaga keselarasan lingkungan hidup. Pemerintah juga harus cepat
mengambil keputusan. Adapun langkah penting yang harus diambil oleh pemerintah
dalam menanggulangi permasalahan yang ada. Dalam pelaksanaan kegiatan reklamasi
perbaikan lahan rawa, sebaiknya dilakukan kegiatan bimbingan pembinaan, monitoring,
evaluasi dan pelaporan baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/ Kota sesuai
dengan tugas dan tanggungjawabnya, serta memberikan penyuluhan kepada
masyarakat yang berada di sekitar polder liang akan pentingnya polder beserta
pintu air bagi mereka sendiri.
Adapun beberapa tugas serta tanggungjawab pemerintah
yang semestinya mereka jalankan, sebagai berikut:
a.
Melakukan koordinasi serta perundingan dengan instansi terkait akan cara
penanggulan masalah yang dihadapi oleh polder Liang.
b. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan
evaluasi.
c. Menyusun laporan pengamatan kegiatan pemeliharaan polder Liang agar
nantinya bisa dipelajari lebih dalam dan bisa membuat sistem yang lebih bagus
lagi.
d.
Melaksanakan bimbingan teknis kepada para petugas lapangan dan petani pelaksana
kegiatan.
e. Mengalokasikan dana pendamping APBD kabupaten/
kota untuk melaksanakan bimbingan pembinaan, pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan kegiatan di lapangan serta pelaporan kegiatan mengenai berbagai
macam perawatan.
f. Menyusun
laporan pelaksanaan kegiatan, yang nantinya disampaikan ke propinsi dan ke
pusat secara berkala.
Comments
Post a Comment