Ekologi Tanaman Sagu
Tukang Ledeng sedikit mendiskripsikan tentang Tanaman Sagu. Tanaman sagu (genus Metroxylon) merupakan jenis tanaman
palma yang tumbuh di sekitar rawa dan lahan tergenang air di daerah tropis.
Tanaman sagu tumbuh pada lahan berlumpur dengan kuantitas air yang sangat
bervariasi mulai dari lahan kering sampai lahan tergenang tetap. Makin lama
penggenangan lahan pertumbuhan tanaman muda (tunas/semai) sangat pesat tetapi pertumbuhan
tanaman pohon sangat lambat serta produksi pati sangat kurang.
Lingkungan yang baik untuk tanaman sagu adalah daerah
yang berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan
organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak asam (Flach, 1977). Sagu
hidup dalam bentuk rumpun, dimana dalam satu rumpun terdapat berbagai
tingkat/fase pertumbuhan mulai dari tumbuhan muda sampai berbuah.
Adapun syarat-syarat tumbuh tanaman sagu adalah sebagai berikut.
Adapun syarat-syarat tumbuh tanaman sagu adalah sebagai berikut.
Gambar 1. Tanaman Sagu
Tanah
Pertumbuhan
sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan
kadar bahan organik tinggi. Sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol,
andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe
tanah lainnya. Sagu mampu tumbuh pada lahan yang memiliki keasaman tinggi.
Pertumbuhan yang paling baik terjadi pada tanah yang kadar bahan organiknya
tinggi dan bereaksi sedikit asam pH 5,5 – 6,5 ( SIMPD, 2000).
Sagu paling
baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh pasang surut, terutama
bila air pasang tersebut merupakan air segar. Lingkungan yang paling baik untuk
pertumbuhannya adalah daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam.
Pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air
tawar, terutama potasium, fosfat, kalsium, dan magnesium (Anonimous, 2011).
Menurut
Turukay (1986) bahwa tidak ada syarat tanah yang khusus bagi tumbuhan sagu.
Selanjutnya dikemukakan bahwa tumbuhan ini dapat hidup di lahan atasan (upland) dengan tanah vulkanik, laotosol,
andosol, dan podsolik atau di lahan baruh (lowland)
dengan tanah grumusol, alluvial, gleisol dan tanah liat kaya bahan organic di
rawa-rawa yang berbatasan dengan hutan mangrove. Menurut Paijmans (1980), sagu
tumbuhan pada tanah-tanah berdebu, berlempung dan bergambut pada daerah baruh
berawa dan dataran aluvial serta tanah berpasir di daerah pesisir (coastal area).
Tanah yang
baik untuk sagu secara alami adalah tanah berliat dengan kandungan bahan
organik tinggi (>20%) dan pH masam (Flach, 1977; 1980;1983, Schuiling dan
Flach, 1985; Flach dan Scuiling, 1988). Pertumbuhan sagu di tanah bergambut
dangkal masih cukup baik, pada gambut dalam kelihatannya kurang baik (Flach,
1977; Tie et al.,1991; Flach dan
Scuiling, 1988). Menurut Flach dan Scuiling (1988) meskipun hasil panen per
pohon pada tanah gambut tidak berselisih banyak dengan yang tumbuh di tanah
berliat, tetapi produksi per satuan waktu adalah lebih rendah, penurunannya
dapat mencapai 25%. Hal ini berarti umur produksi tumbuhan sagu pada tanah gambut
adalah lebih panjang dari tanah mineral.
Dari uraian
di atas jelas bahwa sagu dapat tumbuh dan berproduksi baik pada tanah berpasir
jika mengandung bahan organik tinggi. Hal ini berkenan dengan penyediaan air
yang cukup. Di tanah dengan kandungan pasir tinggi dan bahan organik rendah,
produksi tepung rendah.
Louhenapessy
(1994) menemukan 13 satuan tanah tempat tumbuh sagu di Maluku dan Papua yaitu 8
satuan tanah mineral dan 5 satuan tanah organik (gambut). Satuan tanah mineral
yang ditemukan adalah Typic sulfaquents,
Typic hydraquents, Lithic psammaquents, Sulfic fluavaquents, Mollic
fluvaquents, Typic fluavaquents, Typic vermaquepts, dan Typic plintaqualfs. Satuan
pada tanah organik (gambut) yang ditemukan adalah Terric haplosaprists, Hemic haplosaprists, Terric sulfihemists, Typic
sulfihemists, dan
Thapo-histic-fluvaquents. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa kemungkinan
akan ditemukan tanah-tanah lainnya dalam sub ordo aquents, aqueps, aqualfs, aquuls, dan lain-lain yang kesemuanya
menunjukkan adanya pengaruh air, serta dapat juga ditemukan satuan tanah
organik lainnya.
·
Iklim
Jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan sagu antara
2.000 – 4.000 mm/tahun, yang tersebar merata sepanjang tahun. Sagu dapat tumbuh
sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun produksi sagu
terbaik ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl. Suhu optimal untuk pertumbuhan
sagu berkisar antara 24,50 – 29oC dan suhu minimal 15oC,
dengan kelembaban nisbi 90%. Sagu dapat tumbuh baik di daerah 100 LS – 150 LU
dan 90 – 180 darajat BT, yang menerima energi cahaya matahari sepanjang tahun.
Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%. Kelembaban yang
optimal untuk pertumbuhannya adalah 60% (Anwar, 1994). Menurut ragam
klasifikasi hujan Schmidt dan Fergusson, daerah-daerah sagu terdapat pada tipe
iklim A dan B, kawasan hujan luar biasa basah sampai sangat basah, curah hujan
tahunan rata-rata antara 2500 – 3000 mm, hari hujan tahunan rata-rata antara
142 – 209 hari (Turukay, 1986).
Maluku merupakan pusat agihan sagu menurut Lubis (1953) tetapi
kelihatannya termasuk Papua. Berdasarkan peta agihan sagu di Maluku dan Papua
dengan menggunakan peta agroiklim susunan Oldeman et al. (1980), kawasan iklim yang baik berada dalam zone agroiklim
A, B1, B2, C1, C2, D1, D2, dan E1 (Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1992).
Sagu dapat tumbuh baik dalam kisaran kebasahan iklim yang lebar, mulai dari
yang terbasah dengan bulan basah (BB) lebih dari 9 bulan (Zone A) sampai dengan
bulan basah berturut-turut kurang dari 3 bulan (Zone E1) tetapi bulan kering
(BK) berturut-turut kecil yaitu kurang dari 2 bulan.
Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan
permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa yang
berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran
sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak
terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah
liat > 70% dan bahan organik 30% ( SIMPD, 2000).
Suhu batas untuk tumbuhan sagu belum diketahui, tetapi
berdasarkan kawasan agihan sagu (ketinggian tempat dari garis lintang)
diperkirakan suhu terendah untuk sagu dapat mencapai 150C yaitu pada
ketinggian kira-kira 1000 m. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu adalah 24,5 –
29oC (Flach, 1980). Menurut Flach (1983) pertumbuhan sagu terbaik
pada suhu 25 oC dengan kelembaban nisbi sekitar 90% dan instensitas
penyinaran matahari 900Jcm-2hari-1.
Dengan persamaan Braak, suhu udara 25oC terhadap pada
ketinggian kira-kira 200 m. Intensitas penyinaran matahari 900 Jcm-2hari-1
sama dengan 16% intensitas maksimum yang mencapai muka bumi, yang setara dengan
suasana mendung. Kelembapan nisbi udara 90% ditemukan pada kawasan banyak hujan
dengan tegakan pohon rapat, dan ini terjadi pada hutan sagu. Pada kelembaban
nisbi < 70 % pembentukan daun berlangsung sangat lambat (dapat berbeda 6
hari dengan kelembaban 90%). Pada suhu < 20oC pertumbuhan daun
berlangsung lambat dan pada suhu 17oC pembentukan daun dapat berbeda
50 hari dengan suhu 25oC (Flach et
al., 1986)
·
Tinggi Tempat
Sagu dapat tumbuh di lahan berketinggian tempat 0 – 700 m dari
permukaan laut (Flach, 1977) dan menurut Schuiling dan Flach (1985) sampai
ketinggian 1000 m dari permukaan laut sagu masih ditemukan. Menurut van Oijen (1909)
dalam Cahyono (1984) bahwa di Lebak daerah Banten masyarakat menanam sagu pada
ketinggian 1500 feet (500 m) tetapi menurut Deinum (1948) produksi terbaik
hanya diperoleh di dataran rendah sampai ketinggian 400 m. Di atas 400 m
pertumbuhan sagu terhambat dan produksi menurun. Pada ketinggian tempat di atas
600 m pohon sagu hanya mencapai tinggi sekitar 6 m dengan diameter batang yang
kecil seperti ditemukan di Manusela dan desa-desa pedalaman daerah tinggi di
pulau Seram – Maluku.
·
Bentuk Lahan
Tegakan sagu alami biasanya ditemukan di daerah dataran dan rawa
pantai serta daerah aliran sungai pada ketinggian 0 – 300 m (Deinum, 1948;
Hayne, 1950; Flach, 1977; Schuiling dan Flach, 1985). Pada daerah
berombak-berbukit sering juga ditemukan tumbuhan sagu pada daerah landai tempai
aliran air. Secara makro relief sagu dapat tumbuh pada semua bentuk lahan baik
di dataran rendah sampai ke pegunungan tetapi secara mikro relief sagu akan
tumbuh pada daerah cekung, datar, landai yang memungkinkan air tanah cukup tersedia.
·
Hidrologi
Habitat asli tumbuhan sagu menurut Deinum (1948) ialah tepian
parit dan sungai yang becek, tanah berlumpur akan tetapi secara berkala
mongering. Menurut Heyne (1950) ialah tempat yang sewaktu-waktu apabila hujan
deras menjadi kubangan dan menurut Flach (1983) ialah rawa air tawar dengan
penggenangan secara berkala. Menurut Paijmans (1980) kawasan pertumbuhan sagu
di Papua New Guinea adalah dataran alluvial (alluvial plain), rawa dataran banjir (flood plain swamps), rawat-related belakang (back swamps) dan daerah pesisir pantai (coastal area). Turukay (1986) mengemukakan bahwa 43 % luasan lahan
sagu di Maluku berada di lahan kering (atasan), 36 % di rawa dan 21 % di tepi
sungai. Dari berbagai pendapat di atas menunjukan bahwa sagu bukan khusus
tumbuhan daerah rawa tetapi menunjuk pada berbagai kondisi air tanah yang
berbeda.
Louhenapessy (1994) menyatakan bahwa hidrologi tanah sangat
menentukan kondisi pertumbuhan dan produksi sagu. Ia membagi hidrologi tanah
menjadi 8 kelas berdasarkan lama genangan, tinggi genangan musim hujan dan
tinggi genangan musim kemarau. Dalam pengamatan selanjutnya setelah 1994
kelihatannya beberapa kelas hidrologi berdekatan tidak menunjukan perbedaan
yang nyata baik produksi maupun perbandingan antara pohon dewasa (fase tiang,
pohon, masak, tebang) dengan pohon muda (fase semai dan sapihan). Setelah
dilakukan pendekatan antara kondisi hidrologi dengan perbandingan tumbuhan
dewasa dengan tumbuhan muda serta produksi maka ditetapkan 5 kelas hidrologi.
Penyederhanaan ini dilakukan karena perbedaan rasio D/M dan produksi per pohon
untuk lama genangan 6 – 9 bulan tidak menunjukkan angka yang terlalu jauh
berbeda sehingga dimasukkan menjadi kelas hidrologi sedang, begitu pula dengan
lama genangan > 9 bulan, sehingga dimasukkan dalam kelas hidrologi agak
buruk. Dengan demikian kelas hidrologi tanah sagu adalah sebagai berikut.
a.
Hidrologi baik
·
Lama genangan < 3 bulan
·
Genangan musim hujan (MH) (+ < 50 cm)
·
Genangan musim kemarau (MK) (+ > 100 cm)
b.
Hidrologi agak baik
·
Lama genangan 3 – 6 bulan
·
Genangan musim hujan (MH) (+ < 50 cm)
·
Genangan musim kemarau (MK) (->100 cm)
c.
Hidrologi sedang
·
Lama genangan 6 – 9 bulan
·
Genangan musim hujan (MH) (+ < 50 cm)
·
Genangan musim kemarau (MK) –(50 – 100 cm)
d.
Hidrologi agak buruk
·
Lama genangan > 9 bulan
·
Genangan musim hujan (MH) (+> 50 cm)
·
Genangan musim kemarau
(MK) – (0-50 cm)
e.
Hidrologi buruk
·
Lama genangan 12 bulan (genangan tetap)
·
Genangan musim hujan (MH) (+> 80 cm)
·
Genangan musim kemarau (MK) (+> 10 cm)
Berdasarkan
hasil survei lapangan di daerah penelitian dan informasi yang diperoleh dari
Novita L. Ruhukail (2011), hanya ditemukan 3 jenis tanaman sagu yang tumbuh di
Wilayah Tulehu yaitu:
1.
Molat
(Metroxylon sagus Rottb.)
2.
Tuni
(Metroxylon rumpi Mart.)
3.
Ihur
(Metroxylon sylvestre Mart.)
Perbedaan
morfologi dari ketiga jenis sagu ini dapat dilihat secara visual, cukup nyata
dengan membedakan duri pada pangkal pelepah seperti tertera pada gambar
berikut.
ping
ReplyDelete